Ketika Cincin Bicara

Ketika Cincin Bicara. -Sakya Sugata-

Aku adalah sebuah cincin kawin, sejak lahir aku sudah dipasangkan dengan pasanganku dan disatukan dalam kotak perhiasan yang indah. Kami dipajang di toko perhiasan sampai kami menemukan mereka yang berjodoh dengan kami, dan jadilah kami sebagai pelengkap jari manis mereka. Demikian juga dengan saudaraku yang lain, mereka mengharapkan ada sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta dan akhirnya melanjutkan dalam jenjang pernikahan, memilih saudaraku sebagai menjadi saksi bisu cinta mereka dan menemani sampai usia mereka telah senja. Tentunya inilah harapan kami para cincin.

Selama aku berada di toko perhiasan ini, telah banyak saudaraku yang meninggalkan kami dan menjadi pendamping hidup para mempelai yang menikah. Walau banyak sekali cerita yang ada, saudara kami sering masuk ke pegadaian karena mereka terpaksa harus di lelang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga pemiliknya. Ada juga berita dari para cincin yang telah senior ketika mereka berkunjung ke toko ini, mereka mengatakan dan memberi semangat kepada kami semua untuk selalu tabah dan bersabar dalam menghadapi siapapun yang menjadi pemilik kami kemudian. Mereka mengatakan bahwa pernikahan tidak seindah yang ada di film, maupun buku-buku percintaan. Banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak akan habis untuk dibuat sinetron khusus untuk para cincin.
Pokoknya para cincin senior kami selalu bercerita panjang lebar tentang kehidupan para cincin, kami hanya menjadi pendengar yang baik.

Sampai aku dengan pasanganku akhirnya merasakan sendiri apa itu perjalanan hidup yang baru bagi sepasang cincin kawin. Aku tahu setiap manusia memiliki perasaan, Apalagi urusan cinta, siapa yang tidak pernah merasakannya? Dalam kehidupan ini perasaan dan permainan cinta semua muncul dengan sendirinya, berlangsung dan mungkin berakhir dalam suatu pernyataan. Baik itu yang menyenangkan atau menyedihkan. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan diri kami kemudian.
Kami para cincin yang selalu setia pada majikan yang memiliki kami, akan selalu menemani sampai akhir hayat mereka.

Yang aku tahu, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencintai dan dicintai, ada dalam proses perjalanan menemukan pasangan yang cocok dengan dirinya, yang kemudian berlanjut dalam masa-masa penjajakan, masa pacaran, masa pertunangan, sampai pada jenjang pernikahan. Dan tidak ada orang yang bisa ikut campur dalam masalah perasaan apalagi permainan perasaan. Manusia membutuhkan kematangan dalam berpikir, bertindak dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Apalagi kami benda kecil yang kerjanya hanya melingkar di jari manis, dan selalu bersikap manis tentu tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa.

Sejak seseorang sudah merasa mantap memilih dan mengambil keputusan untuk bersama dengan kekasih yang diyakini akan menjadi pendamping hidupnya, sampai pada tahapan itulah aku telah melingkarkan diriku di jari manisnya. Artinya sebuah ‘perjanjian dan ikatan’ telah di mulai. Makanya disebut dengan memulai hidup baru, memulai sesuatu yang baru, memulai dengan menyatukan dua kebiasaan yang berbeda, dua keluarga yang berbeda, menyatukan persepsi dan jalan hidup yang berbeda menjadi selaras, harmonis, dan serasi. Padahal sejak saat itu aku telah terpisah dengan pasangan hidupku, karena aku melingkar di jari manis pengantin wanita, dan pasanganku melingkar di jari manis pengantin laki-laki. Sesungguhnya tugas kami adalah mengingatkan para mempelai bahwa ada kekuatan cinta kasih di dalam diriku yang membuat mereka menjadi satu dalam kesetiaan.

Banyak yang bilang Karena diriku memiliki simbol dan makna yang menurut versi manusia adalah mengikat seseorang untuk tetap setia, mengikat seseorang untuk menyatakan selalu bersama sampai kapanpun dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Menurut cerita para sesepuh kami, jaman dulu masih sering terlihat orang dengan bangga memakai mereka sampai akhir hidupnya, mereka pun dengan bangga menemai pemiliknya dengan setia di liang kubur atau hangus bersama kremasi jasad pemiliknya.

Saat kami yang lahir sebagai generasi jaman belakangan, mengapa sudah jarang terlihat mereka yang telah menikah membiarkan kami menghiasi jarinya.
Fenomena apa yang terjadi belakangan ini? Mungkin karena kami merupakan benda yang dianggap historikal, benda berharga yang harus di jaga, jangan sampai hilang. Dan banyak yang menyimpan kami baik-baik di tempat yang aman.
Akhirnya banyak yang dari kami menjadi penghuni savety box, lemari pakaian para pemilik kami, yang kemudian makna di balik itu kehadiran kami sendiri menjadi samar.

Sebagian orang berpendapat, kami mengingatkan mereka pada janji yang dibacakan pada saat mereka menikah, mengingatkan pasangan sebagai suami isteri yang harus saling setia dan menjaga. Dan yang penting adalah kami menjadi pengingat orang lain untuk menjaga keutuhan rumah tangga dari orang yang telah melihat kami melingkar di jari manis pemilik kami semua. Menjaga agar jangan sampai ada orang lain masuk di tengah-tengah pemilik kami semua.

Sebagian lagi berpendapat, kami kaum cincin hanyalah benda menjadi belenggu dan merupakan suatu symbol dari ikatan yang ‘mengikat’, identik dengan ketidakbebasan, ketidaknyamanan. Sehingga banyak yang sengaja atau tidak sengaja melepaskan kami yang sebenarnya merupakan bentuk dari ikatan pernikahannya, dan akibatnya terdapat kerancuan disini, banyak orang lain yang tidak tahu apakah seseorang telah memiliki ikatan pernikahan atau belum, dan bahayanya bila perasaan cinta dan sayang sudah bicara terlebih dahulu dari kenyataan yang ada, permainan perasaan akan menjadi rumit kemudian setelah mengetahui sesungguhnya orang yang dicintainya sesungguhnya telah memiliki ikatan dan telah ‘terikat’ dengan pasangan hidupnya. Inilah nasib kami yang hanya menjadi penghuni lemari pakaian atau savety box yang gelap.

Apakah ini menjadi dilema? Apakah kami para cincin yang perlu disalahkan dalam hal ini? Atau memang symbol dari keterikatan itu memang sudah sangat mengikat dan menguasai hidup manusiakah? Atau sesungguhnya ketidaksetiaan dan ketidakharmonisan para manusialah yang menjadi pemicu dari semuanya?

Kami para Cincin hanyalah cincin, benda mati yang tidak bersalah, mau dipakai atau tidak dipakai itu adalah hak seseorang. Yang paling penting adalah bagaimana melihat rumah tangga dapat menjadi satu keutuhan keluarga yang tentram, harmonis dan serasi yang didambakan setiap orang.
Kami juga para cincin yang mengingatkan para manusia bahwa ada kekuatan cinta kasih di dalam kami yang membuat dua orang yang saling mencintai melebur menjadi satu dalam kesetiaan. Dan ketika rumah tangga sedang dalam dilema dan keributan yang besar atau kecil yang sedang terjadi, tataplah kami cincin kawin yang melekat di jari manis anda semua, Tanya pada diri sendiri apakah yang mendasari sehingga kami dapat melingkar di jari manis anda?

Marilah wahai manusia cobalah melihat kembali bagaimana proses perjalanan hidup itu sendiri, memang sulit untuk mengungkapkan perasaan, khususnya perasaan tentang cinta, karena perasaan itu adalah sesuatu yang sangat abstrak yang tidak dapat dijelaskan dengan oleh ahlinya sekalipun. Apapun yang terjadi dengan kalian semua, hanya kalian sendiri yang mampu menyelesaikannya. Kami hanya saksi bisu pernikahan dan pengangkatan janji yang diucapkan oleh kalian semua kaum manusia.

Sekali lagi kami hanya bisa berteriak dan bercerita dengan kaum kami, tetapi para manusia tidak pernah ada yang mendengarkan suara kami, karena mereka tidak akan pernah memperhatikan kami, apalagi bertanya tentang perasaan kami, ketika perselingkuhan terjadi dan tangan mereka mengenggam lembut jemari orang yang bukan suami atau isterinya sendiri. Ketika aku harus berjumpa dengan yang bukan pasanganku sendiri, yang melingkar di jari manis orang yang belum aku kenal sebelumnya, tetapi menjadi orang yang sangat aku kenal selanjutnya……… Ohhh…
beginikah nasib para cincin di jaman ini? Semoga tidak demikian adanya.

Biarlah ku simpan semua cerita ini, sampai alam kubur nanti, dan tetap akan menjadi cerita misteri bagi diriku sendiri. Aku adalah sebuah cincin dengan seribu misterinya sendiri. Biarkan aku bercerita kepada kalian semua….
Inilah ‘suara hati’ kami, para cincin kawin.

Cerita ini hanyalah renungan belaka, tiada maksud lain,
Salam Mudita,
Neng Xiu