Namo Sakyamuni Buddhaya
Namo Amitabha Tathagataya
Salam hangat sahabat,
Diskusi Zen:
A: Apakah kebijaksanaan itu ada?
B: Kebijaksanaan itu tidak ada
A: Jadi, apa yang ada?
B: …Kebijaksanaan.
Maksud:
Ketika penanya pertama bertanya tentang “Kebijaksanaan”, yang ia maksudkan adalah, ingin menanyakan tentang Kebijaksanaan Absolut melalui kata “kebijaksanaan”.
Memahami konsep salah yang diyakini sang penanya, sang penjawab menjawab, kebijaksanaan itu tidak ada.
Maksudnya adalah, Kebijaksanaan Tertinggi tidak akan dapat diwakili label dan kata-kata manapun. Melainkan harus di cicip, sebab Kebijaksanaan tertinggi, saking terhubungnya dengan segala aspek, menyebabkannya tidak mungkin lagi dapat dijelaskan melalui kata-kata semata.
Mengapa? Sebab, kata-kata adalah tidak mampu menyampaikan makna secara menyeluruh, dan makna yang ditangkap akan terdistorsi (terlencengkan) sesuai kapasitas persepsi masing-masing pendengarnya.
Contoh: ketika mendengar kata “manis”, bukankah sahabat langsung merasa “paham” apa itu “manis”? dan bahkan mungkin sahabat dapat memvisualisasikan rasa “manis” di ujung lidah anda?
Namun, apakah kata “Manis” ini mampu menggambarkan makna sesungguhnya dari sang penyampai pesan?
Manis dari gula dan madu, apakah sama? Tidak bukan?
Ketika kita rincikan lagi, “manis dari gula”.
Manis dari gula batu, gula aren, gula semut, apakah sama? Tidak bukan?
Sehingga terpaksa dirincikan lagi, “manis dari gula aren”
Manis dari gula aren yang tumbuh di Indonesia, Brazil, apakah sama? Tidak bukan? Dan seterusnya….
Sehingga, dengan memahami ini, mereka yang sudah mencapai tataran kesadaraan global, akan tercekat ketika ditanya tentang apa itu kebijaksanaan. Terkecuali mereka yang telah menyempurnakan Upaya Kausalyanya, akan mencapai kemampuan Patisambhida, yaitu kemampuan membahasakan kebijaksanaan, kemampu mengajar Dharma sesuai akar kebajikan masing-masing makhluk hidup, sehingga mereka yang telah mencapai tingkat kesempurnaan seperti itu digelari, Guru para Dewa dan Manusia, Junjungan Semesta, Buddha.
Dilanjutkan lagi, ketika ditanya, jadi, apa yang ada? Maksud sang penanya adalah, bila “engkau menyatakan tidak ada sesuatu yang dinamakan “kebijaksanaan”, maka, apakah “objek” yang kuinginkan itu?
Sang penjawab terdiam sejenak dan menjawab… Kebijaksanaan.
Sekilas kita akan melihat diskusi ini sepertinya berputar-putar. Namun, sebenarnya dalam diskusi Zen, yang lebih penting dari apa yang terlihat dan terdengar adalah kondisi “behind the scene”, apa yang melatar belakangi jawaban dan pertanyaan mereka masing-masing.
Dari dua kalimat terakhir tersebut, sang penjawab menyadari bahwa sang penanya masih melekati konsep bahwa “kebijaksanaan” adalah sesuatu yang dapat dipahami melalui kata-kata semata. Sehingga, ia sebenarnya menunjukkan ke-ngotot-annya dalam menginginkan label atas “objek” yang dituju olehnya, yang diharapkan olehnya untuk dibahas rinci.
Sang penjawabpun, setelah merenungi, pada akhirnya menemukan bahwa, label yang paling cocok digunakan untuk menyampaikan keutuhan makna, kedalaman makna Kebijaksanaan Mutlak, walaupun menjadikannya tidak sempurna lagi, adalah kata “kebijaksanaan”.
Diskusi Zen semacam ini, ditujukan untuk membantu kita benar-benar “think out of the box”, sebagaimana biasanya kita diajarkan untuk melekati kata-kata sebagai kebenaran, di sini kita diajarkan bahwa kesadaran, kebijaksanaan, praktek, dan segala aspek kehidupan perlu tersarikan dalam kata-kata. Sebab tanpa semua aspek tadi, kata-kata tak lebih dari sekadar label kosong.
Sebagai contohnya, dahulu uang kertas merupakan jaminan keberadaan dan hak kepemilikan emas di lembaga penyimpanan. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika terjadi penyimpangan, uang kertas dicetak terus menerus tanpa jaminan emas yang memadai lagi, inilah yang menyebabkan berbagai krisis telah dan akan terjadi.
Mungkin sahabat akan bertanya, untuk apa kita memahami hal semacam ini?
Dengan menyadari kerapuhan dan kehampaan kata-kata, kita akan mulai bertanya-tanya, bagaimana agar kata-kataku menjadi bermakna dan bernilai?
Adalah dengan menyarikan, dengan mengisi setiap kata dengan praktek, rasa, dan kekuatan.
Dari mana sumber perasaan dan kekuatan tertinggi?
Dari batin yang murni.
Jadi, agar kata-kata kita menjadi bermakna, kita akan mulai memurnikan batin.
Bagaimana memurnikan Batin? Dengan menjaga Sila
Ini menyebabkan, semua kata-kata kita berkekuatan, karena kita tidak lagi menyatakan kata-kata yang kosong (dusta, umpatan, keluh kesah).
Ketika kata-kata kita berkekuatan karena dilatar belakangi makna yang mendalam,
Kita akan mencapai kesadaran yang sama dengan sang penjawab di atas.
Mengapa?
Sebab, penggunaan label kebijaksanaan antara sang penanya dan sang penjawab adalah berbeda.
“Rasa/feel” yang muncul ketika sang penanya dan penjawab menatakan “kebijaksanaan” adalah berbeda.
Sebagai perumpamaan bantuan agar dapat lebih memahami lagi,
Kita bahas “batu”.
Ketika kita melihat sebongkah batu di pinggir sungai, kita mungkin akan menyatakan “batu”, selesai. Tidak ada rasa apa-apa dan bahkan mungkin hanya rasa bosan dan peremehan semata.
Namun, ketika yang bijak melihat batu, ia akan langsung melihat bahwa batu itu, terbentuk dari gabungan endapan sungai selama jutaan tahun, yang sebelumnya merupakan muntahan lahar di perut bumi, dan bercampur dengan udara, sehingga di dalamnya terkandung atom-atom berbeda yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan beberapa unsur di dalamnya telah ada sebelum ras manusia ada. Sehingga ada pula pecahan partikel yang berasal dari leluhur-leluhur bangsaku sekarang, manusia. Dalam atom-atom tersebut ada pula yang merupakan partikel kecil yang dilontarkan oleh gugus bintang di galaksi lain, setelah melalui perjalanan berapa juta tahun cahaya, akhirnya perjalanannya berhenti sementara di hadapanku, ditepi sungai yang damai ini.
Setelah mengalami perenungan yang sangat mendalam ini, terbit rasa syukur, hormat, dan kebahagiaan luar biasa dari dalam dirinya, dan ia katakan…..
batu.
Semoga senantiasa berbahagia sehingga dapat selalu menebarkan bibit kebahagiaan pada semua makhluk
Amithofo
__/\__
Salam Mudita
SV.10.06.2013