Namaku Siput, bukan karena putih maka dipanggil siput. Aku juga bukan putri raja, walaupun cara berjalan, bergerak aku seperti putri yang sedang memasuki tempat dimana singasana kebesaran berada.
Sejak aku dilahirkan, aku sudah harus membawa rumah ku sendiri, dengan beban di pundakku… aku berjalan tertatih-tatih, aku bergerak kesana-kemari dengan perlahan, seperti layaknya kaum bangsawan..
Pernah aku bertanya pada orang tuaku: “mengapa kalian melahirkan aku dengan beban yang berat yang harus ku bawa kemana-mana?”
“Rumahmu adalah tempat perlindunganmu, rumahmu adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkanmu dari serangan apapun juga, sudah seharusnya kau bersyukur, dan sudah sepantasnya kamu menjaganya” Jawaban yang menurut aku tidak masuk akal…
Bagaimanapun orang tua dan teman2ku menasihati aku, aku tetap tidak sabaran, aku ingin gerakku gesit dan cepat seperti semut-semut yang setiap hari berlomba marathon, seperti ikan-ikan di aquarium yang berenang dengan bebas……
Aku merasa harus berkorban untuk menjalani hidupku dalam dunia yang begitu lambat, dalam ritme keseharian yang membosankan dan menjenuhkan, makan dari sisa-sisa makanan yang ada, tubuhku paling takut dengan yang namanya garam, yang dapat membunuhku…
aku tidak menyadari arti pentingnya rumah siput yang ku bawa kemana-mana. aku juga tidak merasakan ada bahaya disekitarku…
Aku lelah… lelah karena terus berjalan dan bergerak dengan lambat…
entah sampai kapan ku jalani seperti hidup ini….
sudah beban yang harus ku panggul begitu menyulitkanku, ditambah lagi dengan beban pikiranku yang tidak pernah berhentinya mengeluh, komplain, dan marah-marah….
Aku marah.. karena aku merasa tidak berguna, aku marah karena aku tidak dapat berlari cepat, aku marah karena hidupku begini-gini saja, aku marah karena tidak ada yang mengerti aku…
Walau ada yang bilang tubuh kami adalah tubuh yang paling lentur di dunia, tubuh yang paling indah bila bergerak, tubuh yang transparan yang bisa menempel di kaca-kaca aquarium, dan meliuk-liuk dalam pesona keindahannya… antena dikepala kami menjadikan kami begitu terlihat indah…tetapi aku tetap tidak menyukai semua itu…
Mengapa aku terlahir sebagai seekor siput? mengapa? mengapa? mengapa?… sampai suatu saat keluarga ku diserang oleh pasukan kelomang yang jahat, capitannya memaksa keluargaku untuk meninggalkan rumah siputnya, dan mereka dibunuh dengan keji…
untung saja aku dapat bersembunyi di tempat yang aman…
Kelomang juga membawa rumahnya kemana-mana, tetapi mengapa dapat berjalan begitu cepat, dan begitu berkuasa dengan capitnya yang berbahaya, begitu buas dan berbahaya bagi kami……….
Saat itulah aku mengerti, disaat perasaan kehilangan begitu dalam, disaat aku terluka dan hancur karena kekejaman pasukan kelomang, aku terdiam… membisu… dan mengerti…
keluarga kami keluarga siput sesungguhnya adalah keluarga beradab…
kami tidak pernah menyusahkan siapapun, kami hidup dengan tenang, dengan penuh keanggunan, dan memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri. Rumah siput yang ku bawa setiap harinya adalah perlindungan bagi diri kami sendiri, tanpa harus bergantung pada mahluk lain.
Sikap kami yang pelan tapi pasti, ternyata adalah pelajaran berharga tentang kesabaran, kesabaran yang tidak bisa dibeli oleh apapun. karena kami sudah biasa bersabar, maka nilai lebihnya adalah kami seharusnya menikmati hidup ini dengan tenang dan damai.
Tetapi mengapa aku baru menyadarinya sekarang? mengapa setelah semua terlambat? Kini aku baru mengerti apa yang dikatakan orang tuaku, ternyata aku adalah mahluk yang anggun, aku mahluk yang penuh dengan kesabaran, dan aku adalah mahluk lemah yang ‘kuat’ karena aku memiliki tempat perlindungan yang selalu tidak pernah meninggalkanku dalam keadaan bahaya apapun. aku adalah aku
aku siput kecil yang indah. aku Si Putri yang penuh pesona…
Terima kasih mama dan papaku, semoga engkau bahagia dalam kelahiran berikutnya, semoga dapat dilahirkan sebagai manusia yang memiliki kesabaran, kebijaksanaan, dan ketulusan. Terima Kasih pada kalian semua yang telah memberikan semangat untukku dengan membaca kisah ini…..
Cerita Renungan By: Sakya Sugata 2009
Salam Mudita,
www.muditacenter.com